1 Korintus 921; Galatia 21-5. Kebudayaan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Identitas diri dan kebiasaan hidup kita terbentuk salah satunya melalui kebudayaan. Itulah sebabnya manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari kebudayaa. Kali ini kita akan membicarakan mengenai pandangan Kristen tentang kebudayaan. Menurut Kevin J. Vanhoozer, seorang ahli dalam bidang teologi dari Universitas Edinburgh, Kebudayaan adalah ekspresi kongkrit dari apa yang manusia pikirkan dan rasakan. Jika kebudayaan dimengerti secara demikian, sebagai ekspresi dari apa yang kita pikirkan dan rasakan yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk konkrit, maka semua karya manusia pada dasarnya merupakan sebuah kebudayaan. Mengapa demikian? Sebab segala hal yang kita lakukan semuanya didasarkan atas adanya dorongan pikiran dan perasaan kita. Saat kita merasa senang, kita kemudian menyanyi atau membuat nyanyian, karena ini adalah ekspresi dari rasa riang yang kita alami, maka membuat sebuah lagu termasuk sebuah kebudayaan; saat kita melihat sebuah realitas yang menyedihkan, misalnya saja bagaimana dalam gereja ada banyak orang yang kurang peduli dengan kitab suci, kemudian kita membuat sebuah program untuk mendorong jemaat membaca kitab suci, inipun merupakan bagian dari sebuah kebudayaan, dimana kita sedang membangun budaya membaca kitab suci. Jadi, kebudayaan adalah tema yang sangat luas dan kompleks, dan kita tidak mungkin menyoroti aspek kebudayaan yang seperti itu sekarang. Itulah sebabnya, saya ingin menyoroti salah satu aspek saja dari kebudayaan yakni kebudayaan yang dipahami sebagai tata cara hidup bermasyarakat yang berlaku dalam satu kelompok atau suku tertentu, dimana tata cara hidup bermasyarakat tersebut merupakan identitas dari kelompok tersebut. Sebagai contoh, kita semua dibesarkan dengan tata cara hidup yang berbeda dalam suku kita. Ada yang dibesarkan dengan sebuah tata cara hidup, kalau bertamu di rumah orang lain tidak boleh menghabiskan semua makanan yang disuguhkan sebab itu dipandang tidak sopan; sebagian orang yang lain dibesarkan dengan sebuah tata cara kehidupan, bahwa saat bertamu harus menghabiskan semua makanan yang ditawarkan, itu yang namanya sopan. Sebagian suku tertentu memandang saat seseorang menikah harus tinggal dengan orang tuanya, sementara suku yang lain memandang saat seorang menikah harus lepas dari orang tua. Dalam pengertian inilah kita akan membicarakan mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks adat istiadat yang menjadi ciri atau identitas suku kita. Pergumulan sebuah suku untuk menjaga adat istiadat yang menjadi identitas diri mereka juga pernah dialami dari orang-orang Yahudi yang hidup dizaman Yesus dan Paulus. Bagi orang yahudi ada setidaknya ada tiga adat istiadat yang menjadi identitas orang Yahudi, yang tidak boleh ditinggalkan yakni yakni sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang yahudi diajari untuk selalu menyunatkan anak-anak mereka, bagi mereka sunat merupakan tanda perjanjian antara Allah dan mereka sebagai umat Allah. Selain itu hukum sabat, dimana orang-orang Yahudi tidak bekerja pada hari yang ketujuh, juga merupakan bagian dari identitas keyahudian mereka yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang lahir dalam keluarga Yahudi. Dan yang terakhir, mereka pun dibesarkan dengan sebuah tradisi untuk tidak boleh makan bersama-sama dengan orang bukan Yahudi. Larangan makan ini adalah bentuk kongkrit dari larangan untuk bergaul dengan orang bukan Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, tiga hukum ini adalah segala-galanya. Bagi mereka tiga hukum identitas ini adalah bersifat mutlak, tidak boleh dilanggar oleh orang yang menamakan dirinya Yahudi. Persoalan muncul saat bangsa Yunani-Romawi memberlakukan yang namanya hukum pembauran atau disebut juga dengan istilah hellenisasi; maka orang-orang Yahudi memberontak dan melawan hal tersebut. Di zaman itu pemerintah Yunani romawi menetapkan sebuah kebijakan bahwa didunia jajahan Yunani Romawi, mereka harus memiliki satu kebudayaan yang sama yakni hellenis. Untuk menerapkan kebijakan ini, maka pemerintah Yunani-Romawi, melarang hukum sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang Yahudi diminta untuk tidak hidup secara eksklusif, mereka dilarang menyunatkan anak-anak mereka, dilarang untuk melakukan sabat dan dilarang untuk cuma makan bersama dengan sesama Yahudi. Lalu apa yang terjadi, orang-orang Yahudi melawan kebijakan ini mati-matian. Dan munculkan kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya melakukan kekerasan bagi orang-orang Yahudi yang mengikuti kebijakan pemerintah Yunani-Romawi. Mengapa bagi orang-orang Yahudi, adat istiadat atau hukum sunat, sabat, dan aturan makan ini begitu penting? Alasannya adalah sebab bagi mereka, adat istiadat mereka itu adalah kebenaran yang berlaku mutlak, itulah sebabnya bagi mereka ketiga hukum tersebut, adat istiadat tersebut adalah segala-galanya. Namun, bagi Yesus dan Paulus, apa yang dianggap mutlak oleh orang-orang Yahudi di zamannya, maka bagi Yesus dan Paulus tiga sabat, sunat dan aturan makan bukan segala-galanya, itu hanyalah sebuah kebudayaan atau tradisi. Dalam injil-injil kita membaca bahwa Yesus menolak untuk mentaati hukum sabat dengan cara yang sama seperti orang-orang Yahudi pada umumnya lakukan. Bagi Yesus hukum sabat diberikan bagi manusia, jadi hukum sabat tidak seharusnya memperbudak manusia. Itulah sebabnya Yesus tidak menyalahkan murid-murid-Nya saat mereka memetik gandum di hari sabat yang oleh orang-orang Yahudi di zamannya dianggap tidak boleh. Mengapa demikian sebab ajaran tentang sabat yang selama ini diajarkan oleh guru-guru Yahudi tidak lebih dari kebudayaan dan bukan esensi Firman Tuhan. Demikian juga dengan Paulus, ia adalah seorang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi ia dibentuk dengan sebuah kebudayaan untuk tidak bergaul dengan orang bukan yahudi. Namun saat Tuhan memanggilnya untuk memberitakan injil pada orang bukan Yahudi, ia rela melawan kebudayaan yang selama ini dipeliharanya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan bagi Paulus bukan segala-galanya. Sebagai seorang Yahudi, Paulus pun dari kecil dibentuk dengan sebuah budaya bahwa yang namanya umat Tuhan, haruslah disunatkan. Namun saat ia berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa orang-orang yang tidak disunatkan dapat menjadi umat Allah saat percaya pada Yesus, ia rela meninggalkan kebudayaannya bahkan melawan orang-orang yang memaksakakan sunat pada Titus dalam Galatia 2. Kembali kita melihat, saat orang-orang Yahudi lain menjadikan sunat atau kebudayaan sunat sebagai segala-galanya, namun Paulus menolak hal tersebut, baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Demikian juga saat di kota Anthiokhia, saat orang-orang Yahudi Kristen yang lain meninggalkan meja makan orang-orang bukan Yahudi, karena hal tersebut dapat membuat orang-orang Yahudi yang masih berpegang keras pada tradisi atau kebudayaan untuk tidak makan bersama orang bukan Yahudi, dapat menimbulkan kemarahan mereka, namun Paulus menolak untuk takut terhadap orang-orang Yahudi yang masih berpegang pada tradisinya. Ia melawan kebudayaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab bagi Paulus kebudayaan bukan segala-galanya, saat kebudayaan melawan Kristus, itu harus dilawan. Jadi, baik Yesus maupun Paulus, melihat hal yang sama bahwa tradisi dan adat kebiasaan kita bukanlah segala-galanya. Kita tidak dapat dan tidak boleh menjadikan semua tradisi dan adat kebiasaan kita sebagai hal yang mutlak. Jika Kebudayaan bukan segala-galanya, lalu apa yang terutama dan segala-galanya? Maka rasul Palus menolong kita untuk mengerti apa yang segala-galanya bagi kita. Bagi Paulus yang segala-galanya adalah Tuhan. Dalam Filipi 3, Paulus mengatakan jika dibandingkan dengan Kristus, segala kebudayaan yang dulu ia banggakan tidaklah ada nilainya. Paulus mengatakan bahwa i ia adalah suku Yahudi asli; ii ia adalah orang Farisi; iii ia tidak bercacat dalam mentaati hukum Taurat. Meskipun demikian, semua kelebihan tersebut tidak membuatnya menjadi umat Allah. Jika Yesus tidak menyatakan diri-Nya kepada Paulus, walaupun ia adalah orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang luar biasa, namun ia tetaplah termasuk kedalam kumpulan orang-orang yang sedang berjalan ke arah kebinasaan. Hal inilah yang menyebaban Paulus menjadikan kehendak Kristus sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Karena Paulus mengerti apa yang Tuhan kehendaki, bahwa yang Ia inginkan adalah supaya manusia diselamatkan oleh injil, maka Paulus rela kalaupun ia harus meninggalkan kebudayaannya dan memiliki tata cara hidup seperti orang bukan Yahudi, ia rela melakukannya. Karena baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Kristuslah yang segala-galanya. Jika bagi Paulus kebudayaan dan adat istiadat itu bukan segala-galanya, namun Yesus yang segala-galanya, bagaimana dengan anda dan saya. Apakah anda dan saya pun memiliki sikap yang sama? Saat kita menjadi orang Kristen, kemudian kita mengabungkan diri dalam gereja, maka ada satu azas yang dipegang oleh gereja, namanya adalah Sola Scriptura. Apa artinya istilah tersebut? Artinya hanya Alkitab yang mutlak dalam hidup kita, hanya kebenaran-kebenaran Tuhan yang dinyatakan dalam Alkitab yang berlaku mutlak dalam hidup kita, dan itu berarti bagi kita yang namanya tradisi dan adat kebiasaan seharunya tidak dianggap sejajar atau setara dengan Alkitab. Namun, realitanya, saat orang Kristen percaya kepada Yesus, mereka terkadang tidak mau melepaskan diri dari ikatan budaya khususnya saat budaya kita tersebut berlawanan dengan kebenaran injil. Saat seseorang mendapati bahwa ada perbedaan prinsipil antara injil dan budaya, kita sering memilih untuk mempertahankan budaya dari pada injil Tuhan. Sebagai contoh, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa ia hanya menciptakan laki-laki dan perempuan; dan pernikahan pun diijinkan hanya antara laki-laki dan perempuan. Persoalannya adalah zaman sekarang berubah; jika sebelumnya pernikahan sejenis dipandang aneh, sekarang pernikahan sejenis dianggap hak azasi manusia; jika dulu seseorang mengatakan dirinya seorang homosexual atau lesbian dianggap hal yang tabu, sekarang banyak orang rame-rame menyatakan dirinya kaum homosexuals, lesbians ataupun trans-genders. Sebaliknya, orang-orang yang tetap berpegang pada prinsip pernikahan laki-laki dan perempuan sekarang ini dipandang sebagai "orang aneh" bahkan dipandang sebagai "haters." Dalam situasi seperti ini kita diperhadapkan pada pilihan untuk mengikuti budaya karena takut dikucilkan atau tetap berpegang pada ajaran kitab suci; kita tetap tegas dengan apa yang benar dan salah namun tetap mengasihi mereka sebagai sesama manusia yang membutuhkan Kristus dalam hidup mereka. Jadi, walaupun kebudayaan memang tidak selalu salah dan negatif, ada warisan adat istiadat dan tradisi tententu yang baik, yang sejalan dengan kitab suci. Misalnya saja tradisi mengenai hormat pada orang tua, tradisi mengenai sopan santun dan tata krama, semuanya itu hal yang baik, dan hal yang baik, yang sejalan dengan kita suci dapat kita pelihara bahkan dapat kita gunakan untuk sarana dalam memberitakan injil. Namun saat budaya kita, saat adat istiadat yang kita miliki berlawanan dengan injil kebenaran Tuhan, mana yang akan kita pegang? Budaya atau Injil kebenaran Tuhan? Inilah yang akan menguji diri kita, inilah yang akan memperlihatkan kepada kita, siapa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita.
kWjG.