Jakarta- . Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Profil pelajar Pancasila tertuang dalam dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Pandangan Kristen tentang Kebudayaan dan Adat Istiadat di dalamnya Abstract Humans are creatures that cannot live alone and that is why humans must live in groups. Therefore social scientists call humans social beings. Humans also have thoughts, feelings and desires and human thoughts, feelings and wills are used to be able to live in the social, cultural and natural environment. Human thoughts, feelings and will result in the emergence of adaptation strategies for humans, so they can survive in their social, cultural and natural environment. Social sciences experts adopt the adaptation strategy with culture. Therefore, humans are united with their culture or in other words humans cannot live without their culture, including the customs in it. Thus, Christianity must see, understand and treat humans together with the culture and customs that are in it, so that there are no collisions that should not occur. Abstrak Manusia itu adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri dan itu sebabnya manusia itu harus hidup berkelompok. Karena itu para ahli ilmu sosial menyebut manusia sebagai mahluk sosial. Manusia juga memiliki fikiran, perasaan dan kehendak serta fikiran, perasaan dan kehendak manusia itu dipakai agar dapat hidup di lingkungan sosial, budaya dan alamnya. Fikiran, perasaan dan kehendak manusia itu mengakibatkan munculnya strategi adaptasi bagi manusia, sehingga dapat bertahan hidup di lingkungan sosial, budaya dan alamnya. Para ahli ilmu sosial menyebu strategi adaptasi itu dengan kebudayaan. Karena itu, manusia bersatu dengan kebudayaannya atau dengan kata lain manusia tidak dapat hidup tanpa kebudayaannya, termasuk adat istiadat yang ada di dalamnya. Dengan demikian, kekristenan harus melihat, memahami dan memperlakukan manusia bersama-sama dengan kebudayaan dan adat istiadat yang ada di dalamnya, supaya tidak terjadi benturan-benturan yang seharusnya tidak terjadi. References Alkitab, LAI, Jakarta, 1979 TB. Chambers, John - Haskarlianus Pasang. Cara Pandang Kristen. Langham, Bogor, 2015 Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010 Kuiper, Arie de. Missiologia. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010 Koentjaraningrat ed. Manusia dan kebudayaan di Indonesia Djambatan, Jakarta, 2002. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Djambatan, Jakarta, edisi revisi 2009 Mauludi, Sahrul ed. Penyerbukan Silang Antarbudaya Membangun Manusia Indonesia. Kompas Gramedia, Jakarta, 2015. Milne, Bruce. Mengenal Kebenaran. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009 Pasha, Musthafa Kamal. Pancasila Dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis. Citra Karsa mandiri, Yogyakarta, 2005 Ranjabar. Jakobus. Perubahan Sosial Teori-teori dan Prosse Perubahan Sosial Serta Teori Pembangun. Alfabeta, Bandung, 2015 Sumarsono, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Gramedia, Jakarta, 2015 DOI Refbacks There are currently no refbacks. SOTIRIA Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International on a work at telah terindeks pada situse-ISSN 2685-3493p-ISSN 2685-354XCopyright© SOTIRIA Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen, 2019. All Rights Reserved. Jawabanyang benar adalah: A. saling menghormati. Dilansir dari Ensiklopedia, dibawahini sikap yang dikembangkan untuk menghadapi keberagaman budaya adalah saling menghormati. Pembahasan dan Penjelasan. Menurut saya jawaban A. saling menghormati adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. 3. Sikap Kristen terhadap sikap Kristen terhadap budaya? Ini merupakan pergumulan yang serius dari orang percaya sepanjang masa. Neibuhr menguraikan bahwa sepanjang sejarah telah diberikan berbagai jawaban yang sangat berlainan terhadap soal perhubungan anatara agama Kristen atau gereja dengan kebudayaan. Pendekatan Neibuhr ini sangat bermanfaat bagi gereja gereja di Indonesia. Dr. J. Verkuy membahas pandangan Neibuhr ini dalam bukunya Etika Kristen dan kebudayaan. Menurut Neibuhr ada lima macam, sikap umat Kristen terhadap kebudayaan antara lain1. Skap Antagonistis Sikap Menentang atau menolakSikap Kristen yang antagonistis adalah sikap yang melihat pertentangan yang tak terdamaikan antara agama dengan kebudayaan. Akibatnya orang Kristen harus menolak dan menyingkirkan kebudayaan dari dalam hidupnya. Sikap seperti ini kita temukan dalam pengajaran Tertulianus. Dia menyerukan Apakah sangkut pautnya Yerusalem dengan Athena?. Ini berarti bahwa antara iman dan kebudayaannya tidak ada hubungan nya. Kebudayaan adalah bersangkut-paut dengan berhala-berhala seperti permainan, tari-tarian, sandiwara, militer dll. Dan semua itu harus di jauhkan dari kehidupan pietis, aliran ini cendurung menganggap bahwa kebudayaan semata-mata sebagai kekuatan iblis. Akibatnya banyak orang Kristen mengungkapkan bahwa segala yang berbau budaya adalah dosa. Mereka menyerukan singkirkanlah kebudayaan, Hal ini dengan jelas kita temukan dalam aliran sanksi jahowa dan juga Sikap Akomodasi dan akomodasi dan kapitulasi berarti menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Dengan demikian maka pada hakekatnya agama Kristen sering sekali dikorbankan untuk kepentingan budaya. Beberapa contoh dan tokoh yang mempopulerkannya anatara lain Klemens dari Alexandria dan Orogenes. Mereka pernh menyesuaikan Injil dengan filsafatpluto. Mereka menganjurkan supaya Yerusalem menyesuaikan diri dengan Athena. Ini berarti agar orang Kristen menyesuaikan diri dengan filsafat kafir. a. Pada abad-abad pencerahan di Eropah Aufk-lerungpada zaman ini dan berikut yakni abad ke- I 8, 19 banyak orang Eropah, Amerika yang menyamakan agama Kristen dengan rationalism, humanism dan liberalism. Mereka kurang melihat dosa dalam kebudayaan yang pada waktu itu sangat pesat perkembangan nya. Mereka juga tidak bersifat kritis pada kebudayaan. Mereka tidak tau pada saat itu kebudayaan barat telah rusak oleh sifat coraknya yang rationalistis,materialistis, mantinonistis dan imperialistis.
Dilansirdari Ensiklopedia, para siswa berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda mencakup budaya, nilai - nilai, tingkat ekonomi, maupun tingkat pendidikan orang tua terhadap berbagai perbedaan itu, sikap guru sebaiknya adalah e Peka terhadap perbedaan dan berperan menumbuhkan sikap saling menghargai antara siswa satu dengan lainnya.
Posted on 07/06/2020 In QnA Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko Leave a comment Setiap orang merupakan produk kultural. Maksudnya, setiap orang berada dalam suatu budaya dan dibentuk oleh budaya itu. Tidak ada satupun yang benar-benar kebal terhadap pengaruh budaya, entah baik atau buruk. Dalam banyak hal pemikiran, perasaan, dan tindakan setiap orang pasti mencerminkan budayanya. Jadi, menghindari pengaruh budaya merupakan sebuah kemustahilan. Jika budaya memang menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, lalu bagaimana orang Kristen seharusnya menyikapi budaya? Apakah kita terima saja segala sesuatu yang ada dalam budaya kita? Misalnya bolehkah orang Kristen memperingati 40 hari, 100 hari, setahun, dan 1000 hari setelah kematian anggota keluarga mereka? Bagaimana pula dengan menanam ari-ari di depan rumah atau melempar gigi yang tanggal ke genteng rumah atau melempar popok ke sungai, dsb? Untuk menjawab pertanyaan di atas secara memadai, kita perlu memahami perspektif Kristiani tentang kebudayaan secara umum terlebih dahulu. Berdasarkan perspektif yang umum tadi kita baru akan melihat kasus per kasus. Relasi antara kekristenan dan kebudayaan merupakan salah satu isu yang sudah lama dibicarakan oleh para pemikir Kristen. Respons mereka cukup beragam. Semua respons itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, sikap negatif. Mereka menganggap kebudayaan dicemari oleh dosa. Merengkuh budaya berarti merengkuhnya bersama-sama dengan semua kecemaran di dalamnya. Kebudayaan adalah musuh iman. Pandangan ini mendorong orang-orang yang mempercayainya sebisa mungkin menjauhi budaya. Mereka mengisolasi diri dari dunia. Sikap di atas jelas jelas keliru. Mengisolasi diri dari dunia adalah tindakan yang mustahil dan tidak Alkitabiah. Mustahil, karena kita memang tidak mungkin lepas dari budaya. Contoh yang paling sederhana adalah cara berpakaian. Pakaian adalah produk budaya. Binatang tidak berpakaian dan tidak bisa menciptakan pakaian, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbudaya. Model pakaian yang kita kenakan setiap hari juga merupakan produk budaya. Kita mengikuti model tertentu atau nyaman mengenakan jenis kain tertentu. Selain mustahil, sikap di atas juga tidak Alkitabiah. Tuhan Yesus mengutus orang-orang Kristen ke dalam dunia Yoh. 1718. Dia tidak meminta kepada Bapa-Nya agar orang-orang Kristen diambil dari dunia Yoh. 1715. Tugas kita memang di dunia. Ini berarti bahwa dalam taraf tertentu kita memang perlu bersentuhan dengan budaya. Bentuk lain dari sikap negatif terhadap budaya adalah konfrontasional. Beberapa orang Kristen gencar memerangi budaya. Yang dilakukan adalah menunjukkan kebobrokan budaya yang ada. Beberapa bahkanb menggunakan kekuatan tertentu politik, senjata, ekonomi, dsb untuk menegakkan sebuah budaya Kristen yang akan menggantikan budaya setempat. Walaupun sekilas terlihat mulia, usaha ini perlu dikaji ulang dengan seksama. Memerangi budaya seringkali berujung pada memerangi orang-orang yang ada di dalamnya. Tanpa disadari target serangan telah bergeser. Orang-orang Kristen akhirnya menghindari interaksi dengan orang-orang dunia. Ini jelas sangat disayangkan. Di samping itu, Alkitab tidak pernah mengajarkan tentang kebudayaan Kristen. Tidak ada yang disebut “budaya Kristen.” Tugas kita hanyalah merembeskan nilai-nilai kerajaan Allah keadilan, belas kasihan, kedamaian, sukacita, dsb di tengah-tengah dunia. Kemasan yang dimunculkan bisa bermacam-macam, tergantung budaya setempat. Kedua, sikap akomodatif. Sebagian orang Kristen memilih untuk merengkuh budaya di sekitar mereka. Mereka terlihat kontekstual sesuai budaya yang ada. Wujud dari sikap akomodatif ini cukup beragam. Yang penting, secara sekilas mereka tidak berbeda dengan orang-orang dunia. Ada yang mengambil seluruhnya, termasuk praktek hidup yang menyimpang dari Alkitab. Ada yang menjauhi tindakan-tindakan yang “jelas-jelas berdosa,” tetapi tanpa sadar mengadopsi cara berpikir dunia yang materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Alkitab jelas menentang sikap ini. Paulus menasihati jemaat di Roma agar jangan menjadi serupa dengan dunia Rm. 122a. Ini bukan hanya masalah praktek hidup tindakan, tetapi juga cara berpikir. Karena itu Paulus juga menambahkan “tetapi berubahlah oleh pembaruan akal budimu” Rm. 122b. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk tidak kehilangan rasa asin kita di tengah dunia Mat. 513. Jangan sampai kita tidak berbeda dengan dunia. Ketiga, sikap realistis - transformatif. Sikap ini ditandai dengan kesadaran bahwa kita akan selalu berada di dalam budaya. Tidak ada cara untuk menghindarinya. Kita realistis saja. Namun, pada saat yang bersamaan kita membawa perubahan dari dalam. Kita tidak berperang dari luar secara konfrontatif. Kita bernegosiasi dan bergerilya dari dalam. Kebenaran tidak dikompromikan, tetapi juga tidak dipaksakan. Ilustrasi yang tepat mungkin adalah ragi Mat. 1333. Bukankah ragi tidak akan berguna jika tidak dicampur dengan adonan? Demikian pula dengan orang-orang Kristen yang tidak mau masuk ke tengah-tengah dunia dan merengkuh orang-orang yang ada di dalamnya. Sama seperti ragi, peranan kita mungkin tidak langsung terlihat dari luar. Seperti ragi, kita membaur dengan yang lain tanpa menghilangkan jati diri kita. Sama seperti ragi, kita membawa perubahan pada adonan secara keseluruhan. Seperti ragi, kita membuat adonan itu menjadi lebih enak untuk dinikmati. Sikap di atas adalah yang paling tepat. Yesus Kristus bukan hanya sahabat orang berdosa, tetapi juga penyelamat orang berdosa. Dia tidak menunggu untuk ditemui. Dia datang dan mencari Luk. 1910. Gereja juga perlu melakukan hal yang sama. Dengan pemahaman seperti di atas, marilah kita mencoba memberikan solusi praktis atas persoalan yang kita telah singgung di depan Bolehkah orang Kristen mengikuti tradisi-tradisi tertentu yang terkesan janggal dari perspektif Kristiani? Untuk menjawab isu ini dengan tepat dan bijak, kita perlu mempertimbangkan tiga hal pemaknaan, batu sandungan, dan kegunaan. Yang pertama adalah pemaknaan. Hampir setiap praktek kultural dilandasi dengan pemikiran tertentu. Apa yang dilakukan merupakan ekspresi dari sebuah pemikiran. Walaupun apa yang dilakukan pada dirinya sendiri mungkin tidak salah, tetapi pemikiran di dalamnya tetap bisa salah. Kita perlu mengevaluasi praktek maupun maknanya. Dalam banyak hal, keduanya tidak terpisahkan. Dalam kasus peringatan 40 hari kematian, misalnya, kita perlu memahami pemikiran di baliknya. Mengapa dipilih angka 40? Kebiasaan ini bisa bersumber dari banyak tradisi. Salah satunya yang paling memungkinkan adalah ajaran Kejawen. Penganut ajaran ini percaya bahwa arwah orang mati tidak langsung pergi ke alam baka. Roh itu masih berkeliaran di rumah selama 40 hari. Sebagian orang Kristen mencoba menambahkan dukungan Alkitab terhadap pemikiran di atas. Mereka berpendapat bahwa setelah kematian-Nya, Yesus Kristus juga tidak langsung naik ke sorga. Dia menampakkan diri kepada murid-murid-Nya selama 40 hari. Pemaknaan seperti ini tidak Alkitabiah. Roh orang yang mati tidak bergentangan di dunia. Mereka langsung menuju ke sorga atau neraka. Catatan Alkitab tentang hal ini cukup melimpah dan sangat konsisten. Penyamun di sisi Tuhan Yesus dijanjikan akan berada di firdaus pada hari itu juga Luk. 2343. Istilah “firdaus” di sini merujuk pada sorga 2Kor. 121-6; Why. 27. Paulus menyamakan “mati” dengan “diam bersama dengan Kristus” Flp. 121-24. Di tempat lain dia mengajarkan bahwa kalau kita nanti mati, “kita memiliki kediaman dari Allah” terjemahan hurufiah, 2Kor. 51. Menjelang kematiannya Stefanus berkata “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” Kis. 759. Bagaimana dengan penampakan Yesus Kristus selama 40 hari? Catatan Alkitab ini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi peringatan 40 hari. Kesamaan yang ada bersifat superfisial hanya di permukaan, misalnya kematian dan 40 hari. Perbedaan yang ada justru lebih fundamental. Selama 40 hari Yesus Kristus menampakkan diri dalam bentuk tubuh kemuliaan Luk. 2439. Bukan hanya jiwa atau roh-Nya saja. Lagipula, selama 40 hari Yesus Kristus menuntaskan misi khusus meyakinkan banyak orang tentang kebangkitan-Nya dan memberitakan kerajaan Allah Kis. 13b. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus merupakan tindakan yang unik. Hanya berlaku untuk dan bisa dilakukan oleh Dia saja. Yang kedua adalah batu sandungan. Etika Kristen bukan hanya berbicara tentang benar atau salah. Walaupun suatu tindakan benar, hal itu belum tentu boleh dilakukan, jika itu menimbulkan batu sandungan bagi orang lain 1Kor. 813; 1029-32. Prinsip di atas seharusnya dilakukan dua arah. Maksudnya, kita harus memperhatikan hati nurani orang Kristen maupun non-Kristen. Jangan sampai tindakan kita menimbulkan syak di hati mereka. Nah, dalam kasus peringatan 40 hari setelah kematian, apakah orang-orang luar akan merasa syak apabila kita tidak merayakannya? Jika tidak, mengapa kita perlu bersusah-payah mengadakannya? Toh mereka juga tidak akan menganggap hal itu terlalu serius. Jika iya, mengapa mereka merasa syak? Apakah karena kita dianggap kurang menghargai almarhumah? Jika ini yang dipikirkan mereka, kita bisa mempertimbangkannya. Ada solusi untuk keberatan seperti ini. Sebagai contoh, kita menjadi orang yang paling rajin merawat almarhumah selama beliau masih hidup dulu atau kita menjadi orang yang paling sibuk mengurusi persemayaman dan penguburan beliau. Apabila orang-orang lain sudah melihat kasih dan pengurbanan kita yang besar, mereka tidak akan mempersoalkan pada waktu kita tidak memperingati 40 hari atau 1000 hari setelah kematian. Opsi lain yang dapat ditempuh adalah tetap mengadakan peringatan tetapi tidak dibatasi oleh hari-hari tertentu. Kita dapat mengadakan pertemuan kapan saja untuk mengenang dan belajar sesuatu dari kehidupan beliau. Kita juga dapat memaksimalkan momen itu untuk mengajak banyak orang untuk memikirkan kehidupan dan kematian secara serius serta memberitakan Yesus Kristus sebagai solusi bagi persoalan fundamental manusia penderitaan, kejahatan dan kematian dan bagi pergumulan eksistensial manusia penghargaan, pengakuan, kasih sayang, pengampunan, dsb. Yang ketiga adalah kegunaan. Paulus mengajarkan bahwa sesuatu yang diperbolehkan bukan berarti hal itu berguna 1Kor. 612. Sebagai orang-orang percaya kita perlu mengupayakan hal-hal yang membawa faedah bagi orang lain 1Kor. 1023. Berfaedah di sini dalam arti membangun. Apa saja yang kita lakukan jangan cuma didasarkan pada boleh atau tidak boleh. Prinsip ini sangat relevan juga dengan isu tradisi yang sedang kita bahas. Misalnya, jika kita hanya mengadakan peringatan 40 atau 1000 hari seperti orang-orang lain pada umumnya, manfaat apa yang diperoleh oleh orang lain? Tentu saja tidak ada. Mereka justru mungkin akan menangkap kesan yang keliru tentang kekristenan. Kita dianggap agama yang sinkretis mencampuradukkan beberapa keyakinan sekaligus. Dengan demikian kesaksian Kristiani malah bisa dipertaruhkan. Uraian di atas memang lebih banyak dikaitkan dengan tradisi peringatan harihari tertentu setelah kematian. Namun, prinsip yang ada dapat diterapkan pada berbagai tradisi lainnya. Kita perlu mengevaluasi apakah tradisi-tradisi tersebut benar atau salah. Setelah itu kita memikirkan apakah tradisi-tradisi itu dapat menjadi batu sandungan untuk orang lain. Terakhir, kita menanyakan apakah tradisi-tradisi itu membawa faedah bagi orang lain. Soli Deo Gloria.
Artinya keberadaan budaya bangsa Indonesia diakui dan dinilai positif oleh masyarakat dunia sehingga mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Berdasarkan penjelasan tersebut, jawaban yang tepat adalah C. Topik: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial. Subtopik: Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial II. Level Kognitif Studi tentang Kekristenan dunia dimulai dengan premis dasar bahwa Kekristenan adalah, dan sejak awal telah menjadi, agama lintas budaya dan beragam tanpa ekspresi dominan tunggal. Sepanjang sejarah, semua orang Kristen telah hidup dalam konteks budaya tertentu, yang mereka miliki, dalam derajat yang berbeda-beda, dipeluk dan ditolak. Terlepas dari sikap positif atau negatif terhadap budaya sekitarnya, semua orang Kristen harus menanggapi konteks sekitarnya. Dalam umat Kristiani dengan banyak dan beragam tanggapan itulah Kekristenan memperoleh tekstur multi-budaya dan polivokal yang unik sebagai agama dunia. Orang-orang Kristen yang memeluk budaya sekitarnya menggunakan bahasa, musik, bentuk seni, dan ritual asli sebagai sumber daya yang kuat untuk tujuan mereka sendiri. Umat ​​Kristen memiliki sejarah mengambil apa yang bukan Kristen, dan kemudian mengisinya dengan makna Kristen. Ada contoh klasiknya Umat Kristen mewarisi jubah Romawi dan pohon Natal Jerman. Namun bahkan pada tingkat yang lebih dasar, orang Kristen meminjam bahasa pra-Kristen dan menggunakannya untuk tujuan Kristen. Yesus tidak berbicara bahasa Yunani, Latin, atau Inggris, namun masing-masing bahasa tersebut telah digunakan untuk menceritakan kisahnya dan mengajarkan pesannya. Ketika agama Kristen terus menemukan rumah dalam pengaturan budaya baru, orang Kristen terus meminjam bahasa dan budaya baru untuk menceritakan kisah Yesus. Bagi orang-orang Kristen yang mengambil pendekatan yang lebih berhati-hati terhadap budaya sekitarnya, pesan mereka akan menjadi salah satu peringatan. Namun demikian, reaksi terhadap budaya bisa sama kuatnya dengan pembentukan identitas seperti halnya budaya penerima. Jadi, orang Kristen sepanjang waktu menentang alkohol, poligami, perceraian, aborsi, dan banyak sekali masalah lainnya. Secara alami, fakta bahwa Kekristenan adalah polivokal dan multikultural mengarah pada banyak jawaban berbeda vis-à-vis budaya. Beberapa orang Kristen mungkin menolak praktik tertentu sementara yang lain dengan senang hati menerimanya. Perdebatan tentang etika dan praktik bersifat intrinsik dalam sifat multikultural agama Kristen. Oleh karena itu, para Yesuit tidak melihat ada salahnya orang-orang Cina yang pindah agama menghormati leluhur mereka, sementara para Domincan dan Fransiskan menyebutnya penyembahan berhala. Para misionaris Barat di Afrika lebih sering daripada tidak secara tegas menentang poligami, sementara para pemimpin Gereja adat kadang-kadang lebih bersedia untuk menerima kemungkinan itu. Di dunia saat ini, pertanyaan tentang gender dan seksualitas memicu perdebatan di antara orang Kristen lintas budaya. Namun ini tidak berarti bahwa Kekristenan tidak memiliki inti dan sepenuhnya ditentukan oleh budaya sekitarnya. Sebaliknya, di pusat Kekristenan Dunia adalah sebuah cerita. Ini adalah kisah tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, seperti yang diceritakan melalui lensa Yesus Kristus. Teladan, pengaruh, dan realitas Yesus telah memberikan titik temu bagi semua tradisi Kristen. Generasi Kristen di seluruh dunia telah diliputi oleh pertanyaan, “siapakah Yesus?” Dan juga “apa arti hidupnya bagi kita?” Umat ​​Kristen lintas budaya juga berbagi berbagai ritual — baptisan, Perjamuan Tuhan, berkumpul untuk beribadah, dan membaca serta merenungkan kitab suci. Kunjungi Blog Sponspor Kami Jadi, studi tentang Kekristenan dunia mempertanyakan apa yang membuat orang Kristen unik sebagai kelompok individu dan koheren secara keseluruhan. Ini berusaha untuk memahami penyebab perpecahan dan konflik baik di dalam komunitas Kristen dan juga dengan dunia yang lebih luas. Ketika orang Kristen menjadi semakin sadar akan perbedaan budaya mereka, studi tentang Kekristenan Dunia akan menyediakan alat untuk menavigasi keanekaragaman. Ini juga, mudah-mudahan, akan memberikan ruang dan platform untuk mendiskusikan perbedaan kita dan menemukan kesamaan. Jawaban A. bangga dengan kekayaan budaya bangsa. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, sikap yang tepat terhadap kekayaan budaya tersebut adalah bangga dengan kekayaan budaya bangsa. Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Sikap yang sesuai dengan nilai persatuan dan kesatuan di lingkungan sekolah

ï»żSepintas tentang H. Richard Niebuhr 1894-1962 adalah Teolog dan Etikus Kristen Amerika yang paling terkenal karena bukunya Christ and Culture Kristus dan Kebudayaan-1951 dan Radical Monotheism and Western Culture 1960.Niebuhr pernah mengajar selama beberapa dasawarsa di Sekolah Teologi Yale. Teologinya bersama teologi rekannya Hans Frei di Yale yang telah menjadi salah satu sumber utama dari teologi pasca-liberal yang kadang disebut sebagai aliran dalam cara pandang dan paradigma berpikir dengan stimulasi bagaimana manusia berhubungan dengan Allah, dengan sesamanya, dengan komunitas-komunitas yang kedalamnya mereka terhisab, dalam korelasinya dengan agama Kristen yang menanggapi dunia dan yang paling terkenal adalah Christ and Culture. Buku ini sering dirujuk dalam diskusi, menjadi bahan mata kuliah di kampus teologi, bahkan respon kekristenan terhadap dunia sekitar. Berdasarkan buku ini, terbentang 5 sikap gereja terhadap dunia dan kebudayaan dalam konteks berteologi di Tanah Papua seagai berikut 1 RADIKALISASISecara mendasar Kristus menentang kebudayaan, Kristus dianggap berlawanan dengan Masyrakat terlebih khusus dalam kehidupan kebudayaan di Tanah Papua yang menyatakan sikap bahwa harus memilih Kristus atau kebudayaan dalam hal ini kepercayaan dalam agama suku, yang masih melekat erat dalam tatanan falsafah hidup di Papua yang masih dalam tegangan atau kesangsian karena memilih atau mulai mengikuti Kristus atau Kepercayaan agama suku. Pandangan dan sikap Kristus yang keras dapat menjauhkan kebudayaan yang terjadi di Tanah Papua dapat menyebabkan konfrontasi antara injil dan kebudayaan.2 AKOMODASISesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan. Budaya sebagai tempat bagi Kristus yang datang dan masuk dalam kehidupan masyarakat kepercayaan agama suku. Kristus milik kebudayaan, sikap ini memperlihatkan keselarasan antara Kristus dan kehidupan kebudayaan di Tanah Papua yang masih kafir saat itu, Yesus dilihat sebagai pahlawan yang menghadirkan hal-hal baik dalam sejarah masuknya injil dalam kebudayaan di Tanah Papua. Kendati pun demikian Kristus dianggap selaras dengan kebudayaan.3 BERPADUANMenjadi satu benar, atau luluh dan bercampur menjadi satu. Itulah kebudayaan menyatu dengan Kristus dalam kebudayaan masing-masing suku di Tanah Papua. Injil dapat menyesuaikan diri dengan dan dalam dalam pandangan lain sudah lama berpaduan itu di nanti, kemudian hari injil Yesus Kristus itu menyatu dengan kebudayaan. Dalam hal ini memiliki satu kasatuan pikiran atau kebudayaan memiliki pikiran yang sama dengan Kristus.4 DUALISKategori gramatika tata bahasa jumlah kata untuk menunjukan dua hal atau benda yang dipertentangkan dengan singularis tunggal dan pluralis jamak, yakni bahwa Yesus dan kebudayaan dalam paradoks pernyataan ini seolah-olah Yesus bertentangan atau berlawanan dengan pendapat kebudayaan, tetapi pada kenyataannya mengandung kebenaran antara kedua belah pihak. Kristus mati bukan hanya untuk manusia tetapi juga untuk kebudayaan maka kiranya jelas bertentangan namun memiliki relasi yang mengandung kebenaran.5 PEMBAHARUANProses, cara atau perbuatan membarui yakni cara berfikir masyarakat kebudayaan terhadap Kristus. Kristus membaharui kebudayaan dan sekali kebudayaan juga menjadi milik Tuhan posessio.Melalui kepemilikan terjadi proses antara pengembangan kebudayaan, terutama dalam kehidupan kebudayaan masyarakat di Tanah Papua. Dengan demikian melalui presensi Kristus memperbaiki atau memperbaharui agar supaya kebudayaan klasik menjadi lebih mutakhir.

Diskriminatifadalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena dapat memicu munculnya antipati terhadap sesama warga negara. 120 Buku Guru Kelas XII SMASMK. 4. Stereotip.
Sikap Umat Kristiani Akan BudayaSikap Orang Kristen Terhadap Kebudayaan di Kehidupan1. Kristus Bertentangan dengan Kebudayaan2. Kristus Berasal dari Kebudayaan3. Kristus di Atas Kebudayaan4. Kristus dan Kebudayaan di dalam Paradoks5. Krisus Pembaharu Kebudayaan6. Antagonis atau Oposisi7. Akomodasi atau Persetujuan8. Dominasi atau Sintesis9. Dualisme atau Pengutuban10. Pengudusan atau PertobatanSikap Umat Kristiani Akan – Sikap orang Kristen terhadap kebudayaan. Ketika ada kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen, kita harus menolak atau menerima?Seperti diketahui, Kristen masuk jauh setelah Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang masih dilestarikan hingga kini. Penyesuaian pun dilakukan dari kedua ada ajaran yang bertentangan dengan kebudayaan. Di sini, para umat Kristen kerap kebingungan dalam menentukan sikap untuk menolak atau menyesuaikan kebudayaan dengan sebenarnya sikap seperti apa yang harus orang Kristen ambil? Bagi yang belum mengetahui ulasannya, di sini kami akan membahas sikap orang Kristen terhadap kebudayaan dalam kehidupan Orang Kristen Terhadap Kebudayaan di KehidupanPada perkembangannya pertalian gereja dan budaya yang bertolak berasal dari bagaimana sadar pertalian keduanya, dan akan keluar berasal dari lebih dari satu faktor tersebut, yakni1. Kristus Bertentangan dengan KebudayaanKristen menentang adanya kebudayaan, gereja tiadk mau tahu soal adanya kebudayaan. Hal ini membuat kebudayaan dianggap hanya memberikan pengaruh negatif berasal dari kekristenan dan gereja cocok bersama dengan peristiwa agama Kristus Berasal dari KebudayaanSikap Kristus berasal dari kebudayan tandanya bahwa Kristuslah yang punya kebudayaan. Maka berasal dari itu orang beriman haruslah berupaya sesuaikan diri bersama dengan kebudayaan, atau punya toleran untuk menerima perbedaan yang tersedia dan jadi target hidup orang kristen,3. Kristus di Atas KebudayaanBisa dilihat bahwa sikap Kristus di atas kebudayaan memiliki faktor dan sikap yang menggenapi kebudayaan. Namun Kristen tidak sama bersama dengan kebudayaan, maka berasal dari itu orang kristen perlu menghargai Kristus dan Kebudayaan di dalam ParadoksDalam paradoks, sikap Kristus pada kebudayaan memiliki pkkepercayaan bahwa orang Kristen dan gereja hidup di dalam dua dunia. Kehidupan tersebut membuat keduanya tidak sama secara asasi namun tidak mampu di satu pihak orang Kristen, gereja hidup di di dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup di di dalam kebudayaan yang tersedia pada penduduk dimana dia berada di sana mengajarkan perihal faedah berdoa bagi orang Krisus Pembaharu KebudayaanPengaruh berasal dari pertalian gereja dan kebudayaan, dikarenakan keperluan yang tersedia pada era kini perlu di kritisi bersama dengan pijak dikarenakan konteks yang sudah beralih dan perkembangan pemikiran-pemikiran yang teologis termasuk tetap berjalan dan berkembang di Antagonis atau OposisiDalam kebudayaan, sikap antagonis atau oposisi menjadi sikap yang membuktikan ada pertentangan. Adanya pertentangan tersebut tidak bisa didamaikan antara Kristen dan ini mengakibatkan ada sikap yang keluar menampik dan menghilangkan kebudayaan pada seluruh ungkapannya. Gereja dan umat beriman benar-benar diharuskan untuk berbicara tidak atau menampik ungkapan kebudayaan khusus yang berisi perihal kebudayaan yang menghina Tuhan, menyembah berhala dan berwujud merusak dan mengesampingkan ada Akomodasi atau PersetujuanSikap akomodasi atau persetujuan merupakan sikap yang berkebalikan berasal dari antagonis atau oposisi yang akan sesuaikan diri bersama dengan kebudayaan yang sesungguhnya sudah berasal dari itu mulailah berjalan sinkritisme, yang jadi tidak benar satu sikap yang sesungguhnya demikianlah ditujukan untuk mempunyai orang pada langkah mereka berfikir dan lihat layaknya apa kebudayaan, bagaimana langkah hidup dan bagaimana berkomunikasi atau lakukan pertalian bersama dengan orang lain yang bersama dengan itu mengakibatkan seolah-olah seluruh agama merupakan agama yang Dominasi atau SintesisMeski kejatuhan yang dialami manusia ke dalam dosa membuat citra ilahinya menurun, maka dari situ sesungguhnya manusia tidak jatuh total. Pasalnya manusia akan tetap memiliki kehendak yang bebas dan ini menunjukan bahwa, meskipun tersedia kebudayaan kafir pun umat Kristen mampu lakukan akomodasi secara penuh dan akan menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai anggota berasal dari imam, namun pada kenyataan kebudayaanlah yang ditambah dan disucikan oleh skaramen yang sudah jadi anugrah Dualisme atau PengutubanSikap orang kristen pada kebudayaan tidak benar satunya adalah dualisme atau pengutuban, yakni adalah dualisme perihal kebudayaan ayng mengantarai perihal pendiriannya berkaitan iman berasal dari kebudayaan yang merupakan kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada karya Allah kepada Tuhan Yesus Kristus, namun sesungguhnya manusia akan selalu berdiri di di dalam kebudayaan Pengudusan atau PertobatanSikap perihal pengudususan atau pertobata adalah dikap yang tidak menolak, namun termasuk tidak menerima, namun sikap berasal dari kepercayaan yang kuat bahwa kejatuhan umat manusia tidak mampu menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia perlu beroleh kebudayaan selama hasil-hasil yang dihasilkan menerima dan memuliakan Allah, tidak akan menyembah KataDemikian pembahasan mengenai sikap umat kristen terhadap kebudayaan. Mudah-mudahan bisa memberi wawasan tambahan kepada kita untuk mengetahui kaitan kebudayaan dan agama Pengakuan Iman Rasuli dalam KristenKebudayaan yang Sesuai dengan Iman KristenAyat Emas Alkitab Tentang Musik dan Lagu
ï»żMelaluipertanyaan awal ini, penulis berharap memperoleh gambaran awal mengenai perkembangan tradisi liturgi perkawinan Kristen Roma. Gambaran tentang perkawinan Kristiani tidak lepas dari wacana perkawinan Kristiani itu sendiri. Selanjutnya akan dibentangkan sikap Gereja terhadap kebudayaan Batak Toba yang juga memiliki ritus perkawinan sendiri.

1 Korintus 921; Galatia 21-5. Kebudayaan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Identitas diri dan kebiasaan hidup kita terbentuk salah satunya melalui kebudayaan. Itulah sebabnya manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari kebudayaa. Kali ini kita akan membicarakan mengenai pandangan Kristen tentang kebudayaan. Menurut Kevin J. Vanhoozer, seorang ahli dalam bidang teologi dari Universitas Edinburgh, Kebudayaan adalah ekspresi kongkrit dari apa yang manusia pikirkan dan rasakan. Jika kebudayaan dimengerti secara demikian, sebagai ekspresi dari apa yang kita pikirkan dan rasakan yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk konkrit, maka semua karya manusia pada dasarnya merupakan sebuah kebudayaan. Mengapa demikian? Sebab segala hal yang kita lakukan semuanya didasarkan atas adanya dorongan pikiran dan perasaan kita. Saat kita merasa senang, kita kemudian menyanyi atau membuat nyanyian, karena ini adalah ekspresi dari rasa riang yang kita alami, maka membuat sebuah lagu termasuk sebuah kebudayaan; saat kita melihat sebuah realitas yang menyedihkan, misalnya saja bagaimana dalam gereja ada banyak orang yang kurang peduli dengan kitab suci, kemudian kita membuat sebuah program untuk mendorong jemaat membaca kitab suci, inipun merupakan bagian dari sebuah kebudayaan, dimana kita sedang membangun budaya membaca kitab suci. Jadi, kebudayaan adalah tema yang sangat luas dan kompleks, dan kita tidak mungkin menyoroti aspek kebudayaan yang seperti itu sekarang. Itulah sebabnya, saya ingin menyoroti salah satu aspek saja dari kebudayaan yakni kebudayaan yang dipahami sebagai tata cara hidup bermasyarakat yang berlaku dalam satu kelompok atau suku tertentu, dimana tata cara hidup bermasyarakat tersebut merupakan identitas dari kelompok tersebut. Sebagai contoh, kita semua dibesarkan dengan tata cara hidup yang berbeda dalam suku kita. Ada yang dibesarkan dengan sebuah tata cara hidup, kalau bertamu di rumah orang lain tidak boleh menghabiskan semua makanan yang disuguhkan sebab itu dipandang tidak sopan; sebagian orang yang lain dibesarkan dengan sebuah tata cara kehidupan, bahwa saat bertamu harus menghabiskan semua makanan yang ditawarkan, itu yang namanya sopan. Sebagian suku tertentu memandang saat seseorang menikah harus tinggal dengan orang tuanya, sementara suku yang lain memandang saat seorang menikah harus lepas dari orang tua. Dalam pengertian inilah kita akan membicarakan mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks adat istiadat yang menjadi ciri atau identitas suku kita. Pergumulan sebuah suku untuk menjaga adat istiadat yang menjadi identitas diri mereka juga pernah dialami dari orang-orang Yahudi yang hidup dizaman Yesus dan Paulus. Bagi orang yahudi ada setidaknya ada tiga adat istiadat yang menjadi identitas orang Yahudi, yang tidak boleh ditinggalkan yakni yakni sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang yahudi diajari untuk selalu menyunatkan anak-anak mereka, bagi mereka sunat merupakan tanda perjanjian antara Allah dan mereka sebagai umat Allah. Selain itu hukum sabat, dimana orang-orang Yahudi tidak bekerja pada hari yang ketujuh, juga merupakan bagian dari identitas keyahudian mereka yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang lahir dalam keluarga Yahudi. Dan yang terakhir, mereka pun dibesarkan dengan sebuah tradisi untuk tidak boleh makan bersama-sama dengan orang bukan Yahudi. Larangan makan ini adalah bentuk kongkrit dari larangan untuk bergaul dengan orang bukan Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, tiga hukum ini adalah segala-galanya. Bagi mereka tiga hukum identitas ini adalah bersifat mutlak, tidak boleh dilanggar oleh orang yang menamakan dirinya Yahudi. Persoalan muncul saat bangsa Yunani-Romawi memberlakukan yang namanya hukum pembauran atau disebut juga dengan istilah hellenisasi; maka orang-orang Yahudi memberontak dan melawan hal tersebut. Di zaman itu pemerintah Yunani romawi menetapkan sebuah kebijakan bahwa didunia jajahan Yunani Romawi, mereka harus memiliki satu kebudayaan yang sama yakni hellenis. Untuk menerapkan kebijakan ini, maka pemerintah Yunani-Romawi, melarang hukum sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang Yahudi diminta untuk tidak hidup secara eksklusif, mereka dilarang menyunatkan anak-anak mereka, dilarang untuk melakukan sabat dan dilarang untuk cuma makan bersama dengan sesama Yahudi. Lalu apa yang terjadi, orang-orang Yahudi melawan kebijakan ini mati-matian. Dan munculkan kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya melakukan kekerasan bagi orang-orang Yahudi yang mengikuti kebijakan pemerintah Yunani-Romawi. Mengapa bagi orang-orang Yahudi, adat istiadat atau hukum sunat, sabat, dan aturan makan ini begitu penting? Alasannya adalah sebab bagi mereka, adat istiadat mereka itu adalah kebenaran yang berlaku mutlak, itulah sebabnya bagi mereka ketiga hukum tersebut, adat istiadat tersebut adalah segala-galanya. Namun, bagi Yesus dan Paulus, apa yang dianggap mutlak oleh orang-orang Yahudi di zamannya, maka bagi Yesus dan Paulus tiga sabat, sunat dan aturan makan bukan segala-galanya, itu hanyalah sebuah kebudayaan atau tradisi. Dalam injil-injil kita membaca bahwa Yesus menolak untuk mentaati hukum sabat dengan cara yang sama seperti orang-orang Yahudi pada umumnya lakukan. Bagi Yesus hukum sabat diberikan bagi manusia, jadi hukum sabat tidak seharusnya memperbudak manusia. Itulah sebabnya Yesus tidak menyalahkan murid-murid-Nya saat mereka memetik gandum di hari sabat yang oleh orang-orang Yahudi di zamannya dianggap tidak boleh. Mengapa demikian sebab ajaran tentang sabat yang selama ini diajarkan oleh guru-guru Yahudi tidak lebih dari kebudayaan dan bukan esensi Firman Tuhan. Demikian juga dengan Paulus, ia adalah seorang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi ia dibentuk dengan sebuah kebudayaan untuk tidak bergaul dengan orang bukan yahudi. Namun saat Tuhan memanggilnya untuk memberitakan injil pada orang bukan Yahudi, ia rela melawan kebudayaan yang selama ini dipeliharanya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan bagi Paulus bukan segala-galanya. Sebagai seorang Yahudi, Paulus pun dari kecil dibentuk dengan sebuah budaya bahwa yang namanya umat Tuhan, haruslah disunatkan. Namun saat ia berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa orang-orang yang tidak disunatkan dapat menjadi umat Allah saat percaya pada Yesus, ia rela meninggalkan kebudayaannya bahkan melawan orang-orang yang memaksakakan sunat pada Titus dalam Galatia 2. Kembali kita melihat, saat orang-orang Yahudi lain menjadikan sunat atau kebudayaan sunat sebagai segala-galanya, namun Paulus menolak hal tersebut, baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Demikian juga saat di kota Anthiokhia, saat orang-orang Yahudi Kristen yang lain meninggalkan meja makan orang-orang bukan Yahudi, karena hal tersebut dapat membuat orang-orang Yahudi yang masih berpegang keras pada tradisi atau kebudayaan untuk tidak makan bersama orang bukan Yahudi, dapat menimbulkan kemarahan mereka, namun Paulus menolak untuk takut terhadap orang-orang Yahudi yang masih berpegang pada tradisinya. Ia melawan kebudayaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab bagi Paulus kebudayaan bukan segala-galanya, saat kebudayaan melawan Kristus, itu harus dilawan. Jadi, baik Yesus maupun Paulus, melihat hal yang sama bahwa tradisi dan adat kebiasaan kita bukanlah segala-galanya. Kita tidak dapat dan tidak boleh menjadikan semua tradisi dan adat kebiasaan kita sebagai hal yang mutlak. Jika Kebudayaan bukan segala-galanya, lalu apa yang terutama dan segala-galanya? Maka rasul Palus menolong kita untuk mengerti apa yang segala-galanya bagi kita. Bagi Paulus yang segala-galanya adalah Tuhan. Dalam Filipi 3, Paulus mengatakan jika dibandingkan dengan Kristus, segala kebudayaan yang dulu ia banggakan tidaklah ada nilainya. Paulus mengatakan bahwa i ia adalah suku Yahudi asli; ii ia adalah orang Farisi; iii ia tidak bercacat dalam mentaati hukum Taurat. Meskipun demikian, semua kelebihan tersebut tidak membuatnya menjadi umat Allah. Jika Yesus tidak menyatakan diri-Nya kepada Paulus, walaupun ia adalah orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang luar biasa, namun ia tetaplah termasuk kedalam kumpulan orang-orang yang sedang berjalan ke arah kebinasaan. Hal inilah yang menyebaban Paulus menjadikan kehendak Kristus sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Karena Paulus mengerti apa yang Tuhan kehendaki, bahwa yang Ia inginkan adalah supaya manusia diselamatkan oleh injil, maka Paulus rela kalaupun ia harus meninggalkan kebudayaannya dan memiliki tata cara hidup seperti orang bukan Yahudi, ia rela melakukannya. Karena baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Kristuslah yang segala-galanya. Jika bagi Paulus kebudayaan dan adat istiadat itu bukan segala-galanya, namun Yesus yang segala-galanya, bagaimana dengan anda dan saya. Apakah anda dan saya pun memiliki sikap yang sama? Saat kita menjadi orang Kristen, kemudian kita mengabungkan diri dalam gereja, maka ada satu azas yang dipegang oleh gereja, namanya adalah Sola Scriptura. Apa artinya istilah tersebut? Artinya hanya Alkitab yang mutlak dalam hidup kita, hanya kebenaran-kebenaran Tuhan yang dinyatakan dalam Alkitab yang berlaku mutlak dalam hidup kita, dan itu berarti bagi kita yang namanya tradisi dan adat kebiasaan seharunya tidak dianggap sejajar atau setara dengan Alkitab. Namun, realitanya, saat orang Kristen percaya kepada Yesus, mereka terkadang tidak mau melepaskan diri dari ikatan budaya khususnya saat budaya kita tersebut berlawanan dengan kebenaran injil. Saat seseorang mendapati bahwa ada perbedaan prinsipil antara injil dan budaya, kita sering memilih untuk mempertahankan budaya dari pada injil Tuhan. Sebagai contoh, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa ia hanya menciptakan laki-laki dan perempuan; dan pernikahan pun diijinkan hanya antara laki-laki dan perempuan. Persoalannya adalah zaman sekarang berubah; jika sebelumnya pernikahan sejenis dipandang aneh, sekarang pernikahan sejenis dianggap hak azasi manusia; jika dulu seseorang mengatakan dirinya seorang homosexual atau lesbian dianggap hal yang tabu, sekarang banyak orang rame-rame menyatakan dirinya kaum homosexuals, lesbians ataupun trans-genders. Sebaliknya, orang-orang yang tetap berpegang pada prinsip pernikahan laki-laki dan perempuan sekarang ini dipandang sebagai "orang aneh" bahkan dipandang sebagai "haters." Dalam situasi seperti ini kita diperhadapkan pada pilihan untuk mengikuti budaya karena takut dikucilkan atau tetap berpegang pada ajaran kitab suci; kita tetap tegas dengan apa yang benar dan salah namun tetap mengasihi mereka sebagai sesama manusia yang membutuhkan Kristus dalam hidup mereka. Jadi, walaupun kebudayaan memang tidak selalu salah dan negatif, ada warisan adat istiadat dan tradisi tententu yang baik, yang sejalan dengan kitab suci. Misalnya saja tradisi mengenai hormat pada orang tua, tradisi mengenai sopan santun dan tata krama, semuanya itu hal yang baik, dan hal yang baik, yang sejalan dengan kita suci dapat kita pelihara bahkan dapat kita gunakan untuk sarana dalam memberitakan injil. Namun saat budaya kita, saat adat istiadat yang kita miliki berlawanan dengan injil kebenaran Tuhan, mana yang akan kita pegang? Budaya atau Injil kebenaran Tuhan? Inilah yang akan menguji diri kita, inilah yang akan memperlihatkan kepada kita, siapa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita.

kWjG.
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/255
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/144
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/38
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/104
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/54
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/385
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/152
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/57
  • z1q8cnwc7o.pages.dev/221
  • sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah